BLANTERORBITv102

    Sejarawan Undip: Indonesia Harus Pertahankan Perannya di Tengah Ketegangan Perang Dagang Amerika-China

    Minggu, 20 April 2025

     
    Sejarawan Undip: Indonesia Harus Pertahankan Perannya di Tengah Ketegangan Perang Dagang Amerika-China
    Singgih Tri Sulistiyono



    Jakarta (18/4). Tujuh dekade telah berlalu sejak Konferensi Asia-Afrika (KAA) digelar di Bandung pada 18 April 1955. Namun semangatnya masih terus menggema dalam dinamika geopolitik dunia hingga saat ini.


    Peringatan KAA menjadi pengingat peran strategis Indonesia di panggung politik internasional. Konferensi bersejarah tersebut merupakan simbol keberanian negara-negara bekas jajahan, untuk menentukan arah masa depannya secara mandiri.


    Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono menegaskan KAA adalah wujud dari “inisiatif lokal dan nasional” Indonesia dalam menjawab tantangan global, terutama saat dunia tengah terpecah oleh Perang Dingin antara Blok Barat dan Timur, “Pada saat itu, Indonesia tidak mau menjadi pihak yang hanya dimainkan oleh globalisasi, tetapi justru ingin menjadi pemain dalam globalisasi itu sendiri,” ujar Prof. Singgih.


    Konferensi Asia-Afrika dilaksanakan di tengah memuncaknya ketegangan global. Dunia terbelah antara dua kekuatan besar: Amerika Serikat dengan ideologi kapitalisme, dan Uni Soviet dengan sosialisme-komunismenya. Negara-negara Asia dan Afrika, sebagian besar baru merdeka, menjadi arena perebutan pengaruh kedua blok tersebut.


    Di tengah kondisi geopolitik yang memanas, Indonesia justru mengambil langkah strategis. Melalui inisiatif Presiden Soekarno, KAA digelar sebagai ruang untuk menyatukan suara negara-negara Asia dan Afrika agar tidak terjebak dalam konflik dua kutub dunia, “Indonesia berusaha menjadi pemain dalam globalisasi, bukan pihak yang dimainkan oleh globalisasi,” tegas Ketua DPP LDII itu.


    70 tahun berselang sejak Konferensi Asia-Afrika digelar di Bandung, wajah geopolitik dunia telah mengalami banyak perubahan. Negara-negara yang dulunya berada di bawah cengkeraman kolonialisme kini justru menjelma menjadi kekuatan-kekuatan baru dalam percaturan global. Salah satu wujud dari perubahan ini adalah kemunculan BRICS, aliansi ekonomi-politik yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.


    Dalam beberapa tahun terakhir, BRICS menjadi simbol pergeseran kekuatan global dari dominasi Barat menuju sistem yang lebih tersebar. Banyak pengamat melihat BRICS sebagai penanda munculnya dunia multipolar, sebuah tatanan di mana tidak ada satu kekuatan tunggal yang menguasai, melainkan beberapa poros kekuatan yang saling berinteraksi dan bersaing, “Secara kasat mata, ya, dunia memang tampak multipolar. Tapi kalau kita lihat substansinya, nuansa bipolar itu masih kuat,” jelasnya.


    Ia menyebutkan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya di Barat masih terus mempertahankan dominasi global mereka, sementara Tiongkok dan Rusia memimpin blok tandingan yang mengusung pendekatan berbeda terhadap tatanan dunia. Pola-pola ini mengingatkan pada masa lalu, di mana dunia terbagi dua: antara kapitalisme yang dipimpin Amerika dan sosialisme-komunisme yang dipimpin Uni Soviet. Kini, meskipun bentuk dan narasinya berbeda, ketegangan ideologis itu masih terasa.


    “Bahkan beberapa negara yang tergabung dalam BRICS pun tidak sepenuhnya satu ideologi. Tapi mereka memiliki kepentingan bersama: melawan dominasi unipolar yang selama ini dikendalikan Amerika dan sekutunya,” tambah Prof. Singgih.

    Singgih Tri Sulistiyono


    Melihat kondisi dunia yang semakin kompleks, Singgih mengatakan semangat yang dibawa KAA masih tetap relevan. KAA bukan semata soal anti-kolonialisme melainkan juga menawarkan visi alternatif tentang tatanan dunia yang adil, kolaboratif, dan berlandaskan kesetaraan. Dalam dunia yang terus dibayang-bayangi konflik dan ketimpangan, nilai-nilai ini sangat dibutuhkan, “Kesetaraan antarnegara, terutama antara negara maju dan negara berkembang, serta kerja sama tanpa dominasi, itu prinsip penting yang masih harus diperjuangkan,” tutur Singgih.


    Namun, Singgih mengingatkan bahwa kontribusi Indonesia dalam membentuk tatanan dunia baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi internal bangsa itu sendiri. Ia menekankan bahwa semangat Konferensi Asia-Afrika yang dahulu lahir dari keberanian Indonesia tampil sebagai inisiator dan pelopor dalam percaturan global tidak akan berarti banyak jika bangsa ini tidak kuat dari dalam, “Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita menata kehidupan dari dalam negeri kita sendiri,” ujarnya tegas.


    Menurutnya, kekuatan Indonesia untuk tampil sebagai aktor global sangat bergantung pada seberapa kokoh fondasi internal negara ini. Jika kondisi dalam negeri keropos, tidak solid, atau terus diguncang konflik internal, maka akan sulit bagi Indonesia untuk tampil berwibawa di hadapan dunia, “Kalau keadaan dalam negeri kita keropos, maka bagaimanapun juga kita tidak akan memiliki ruang dalam pergaulan internasional,” sambungnya.


    Untuk itu, menurutnya kunci agar Indonesia bisa kembali memainkan peran strategis dalam menciptakan tata dunia yang lebih adil dan setara, sebagaimana semangat yang dulu diusung dalam KAA 1955, adalah dengan memperkuat jati diri bangsa. Ia menyebut Proklamasi Kemerdekaan dan nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi utama yang harus terus dihidupkan dan diinternalisasi, tidak hanya dalam tataran wacana, tetapi juga dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.


    “Hanya dengan cara demikian dengan memperkuat kembali semangat negara Pancasila, kita bisa menjadi negara yang maju dan berwibawa. Baru setelah itu, kita bisa ikut memberikan kontribusi nyata dalam membentuk tata dunia baru,” tutupnya.